Beranda | Artikel
Kaidah Ke. 14 : Kerusakan Barang Di Tangan Orang yang Diberi Amanah
Rabu, 9 September 2009

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Keempat Belas :

التَّلَفُ فِي يَدِ اْلأَمِيْنِ غَيْرُ مَضْمُوْنٍ إِذَا لَمْ يَتَعَدَّى أَوْ يُفَرِّطْ, وَفِي يَدِ الظَّالِمِ مَضْمُوْنٌ مُطْلَقًا

Kerusakan Barang Di Tangan Orang Yang Diberi Amanah Tidak Mengharuskan Pembayaran Ganti Rugi Jika Ia Tidak Melanggar Atau Melalaikan. Dan Wajib Membayar Ganti Rugi Secara Mutlak Jika Barang Tersebut Rusak Di Tangan Orang Yang Zalim

Kaidah ini menjelaskan perbedaan antara harta yang ada di tangan al-amîn (orang yang diberi amanat) dengan harta yang ada di tangan orang yang zhalim. Yaitu tentang ada tidaknya kewajiban mengganti harta tersebut jika mengalami kerusakan di tangannya.

Al-amîn adalah orang yang mendapatkan kepercayaan untuk membawa harta orang lain dengan izin pemiliknya, atau dengan izin syari’at, atau dengan izin wali pemilik harta tersebut.

Di antara yang masuk dalam kategori al-amîn adalah :

1. Al-wadî’ (orang yang dititipi barang)

2. Al-wakîl (orang yang diberi kepercayaan oleh pemilik harta untuk memperdagangkan sejumlah harta, menyewakannya, atau bentuk tasharruf ( aktivitas yang lain)

3. Al-murtahin (pembawa barang gadaian)

4. Al-ajîr (penyewa barang)

5. Asy-syarîk (salah satu dari para pemilik suatu barang yang dimiliki secara bersama)

6. Al-mudharab (orang yang dipercaya oleh pemilik barang untuk memperdagangkannya, dengan memperoleh bagi hasil dari laba yang diperoleh)

7. Al-multaqith (orang yang mendapatkan barang temuan)

8. Nazhir wakaf (yang ditugaskan mengelola wakaf)

9. Pengurus anak yatim

10. Pengurus orang majnûn (gila)

11. Pengurus orang yang kurang akal

12. Al-washiy (orang yang mendapatkan wasiat untuk melakukan tasharruf terhadap harta tertentu setelah pemiliknya meninggal)

13. Amînul Hakim (orang yang mendapatkan kepercayaan dari hakim)

Orang-orang yang mempunyai status sebagai al-amîn tersebut tidak dibebani kewajiban untuk mengganti atau menanggung ganti rugi jika barang yang diamanahkan kepadanya rusak. Yang demikian ini merupakan konsekuensi amanah yang telah ia pikul dalam membawa dan menjaga harta tersebut. Kerusakan barang yang terjadi di tangannya itu seolah-olah terjadi di tangan pemiliknya.

Namun demikian, jika kerusakan itu terjadi karena ta’addi (pelanggaran terhadap harta) atau tafrîth (melalaikan penjagaan harta); maka dalam hal ini ia wajib mengganti atau membayar ganti rugi atas kerusakan yang terjadi tersebut.

Adapun perbedaan antara ta’addi dan tafrîth adalah bahwa ta’addi merupakan tindakan mengerjakan sesuatu yang tidak diperbolehkan terhadap harta yang diamanahkan, berupa memanfaatkan atau melakukan tasharruf terhadap harta tersebut. Adapun yang dimaksud dengan tafrîth adalah meninggalkan sesuatu yang seharusnya ia kerjakan terhadap harta yang diamanahkan, yaitu melalaikan penjagaan terhadap harta tersebut.

Apabila harta tersebut rusak dikarenakan ta’addi atau tafrîth dari orang yang diserahi amanah tersebut, maka ia wajib mengganti atau membayar ganti rugi atas kerusakan tersebut.

Berkaitan dengan penerapan kaidah ini, para Ulama’ berbeda pendapat tentang harta yang rusak di tangan musta’îr (peminjam barang). Banyak ahli ilmu yang berpendapat bahwa jika barang yang dipinjam mengalami kerusakan di tangan peminjam, maka ia wajib mengganti atau membayar ganti rugi secara mutlak, baik kerusakan tersebut terjadi karena ta’addi atau tafrîth, ataukah tidak. Dan inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali.[1]

Sebagian Ulama’ yang lain berpendapat bahwa seseorang yang menerima pinjaman dari orang lain, maka ia termasuk dalam kategori orang yang menerima amanat. Apabila barang yang ia pinjam tersebut rusak di tangannya, maka ia tidak wajib mengganti atau membayar ganti rugi, kecuali jika kerusakan itu terjadi karena ta’addi atau tafrîth darinya. Dan inilah pendapat yang benar. Wallâhu a’lam.[2]

Adapun orang yang membawa harta atau benda orang lain tanpa alasan yang benar, maka ia wajib mengganti atau membayar ganti rugi kepada pemilik harta tersebut secara mutlak apabila harta tersebut mengalami kerusakan di tangannya. Sama saja apakah kerusakan itu terjadi karena ta’addi, atau tafrîth, ataukah tidak. Yang demikian ini dikarenakan ia telah melakukan pelanggaran secara zhalim kepada hak milik orang lain.

Di antara yang masuk dalam kategori ini adalah :

1. Orang yang melakukan ghashab (menggunakan barang orang lain tanpa izin pemiliknya).

2. Orang yang khianat dalam amanah yang diembankan kepadanya.

3. Orang yang menolak untuk mengembalikan barang yang dititipkan kepadanya kepada pemilik harta tersebut tanpa alasan yang benar.

4. Penemu luqathah (barang temuan), kemudian ia tidak mau mengumumkan penemuan barang tersebut.

5. Orang yang di rumahnya mendapatkan suatu harta atau benda milik tetangganya kemudian ia tidak mau mengembalikannya atau tidak mau mengkhabarkan kepada tetangganya tersebut tanpa alasan yang benar.
Maka orang yang masuk dalam kategori ini wajib secara mutlak untuk mengganti atau membayar ganti rugi, jika harta atau benda tersebut mengalami kerusakan di tangannya. Wallâhu a’lam.

(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Bidâyatul Mujtahid 2/313. Al-Umm 3/250. Masâ-il Ahmad libnihi `Abdillâh hal. 308. Al-Furû’ 4/474.
[2]. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyyah. (Al-Mabshûth 11/134. Badâ-i’us Shanâ-i’ 6/117)


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2514-kaidah-ke-14-kerusakan-barang-di-tangan-orang-yang-diberi-amanah.html